INTERAKSI ANTARA GENOTIPE DAN LINGKUNGAN
Disusun Oleh :
Ferdian Adi Aris T
H0708099
AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
PENDAHULIUAN
Pengembangan varietas unggul tanaman ditentukan oleh banyak faktor dan tujuan yang ingin dicapai dalam suatu program produksi pertanian. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah factor lingkungan makro tempat tumbuh varietas yang bersangkutan dan varietas unggul tanaman yang bagaimana yang akan dikembangkan. Pengambilan kebijakan dalam pengembangan varietas unggul tanaman menentukan keberhasilan pembangunan pertanian secara sinambung yang mampu memanfaatkan potensi wilayah tumbuh tanaman setempat. (Muhammad Azrai 2009)
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia memiliki variasi lingkungan makro geofisik yang sangat besar yang memberikan lingkungan tumbuh bagi tanaman yang sangat besar pula variasinya. Kondisi tersebut memberikan petunjuk adanya variasi ciri-ciri dan potensi-potensi khusus dari suatu wilayah yang perlu dimanfaatkan secara baik. Adanya variasi lingkungan tumbuh makro tersebut tidak akan menjamin suatu genotip/varietas tanaman akan tumbuh baik dan memberikan hasil panen tinggi di semua wilayah dalam kisaran spatial yang luas, atau sebaliknya. Hal tersebut terkait dengan kemungkinan adanya atau tidak adanya interaksi antara genotip atau genotip. genotip tanaman dengan kisaran variasi lingkungan spatial yang luas. Bagi para pemulia ada atau tidak adanya interaksi antara genotip atau genotip- genotip tanaman dengan kisaran variasi lingkungan spatial yang luas, ataupun dengan variasi lingkungan pada suatu wilayah spesifik merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan pilihan kebijakan genotip tanaman yang bagaimana yang akan disebarkan atau dilepas, ataupun untuk digunakan dalam estimasi komponen varians suatu karakter tertentu. Informasi pustaka pada umumnya menunjukkan adanya interaksi antara genotip dengan lingkungan (G × E), baik informasi hasil penelitian di luar negeri, maupun hasil studi di Indonesia. Penelitian-penelitian yang antara lain dilakukan oleh Finlay dan Wilkinson (1963), Allard dan Bradshaw (1964), Eberhart dan Russell (1966), Freeman dan Perkins (1971), Baihaki et al. (1976), dan Asay et al. (2001) dalam Achmad Baihaki dan Noladhi Wicaksana (2009) menunjukkan adanya interaksi G × E. Penelitian- penelitian yang dilakukan di Indonesia pun menunjukkan hal yang sama, seperti antara lain yang telah dilaporkan oleh Karuniawan et al. (1998), Makulawu et al. (1999), Kanro et al. (2000), dan Djaelani et al. (2001) dalam Achmad Baihaki dan Noladhi Wicaksana (2009). (Achmad Baihaki dan Noladhi Wicaksana 2009)
Interpretasi dan pemanfaatan informasi interaksi G × E bervariasi antar peneliti. Eberhart dan Russell (1966) dalam Achmad Baihaki dan Noladhi Wicaksana (2009) menyatakan bahwa interaksi G × E dapat mempengaruhi kemajuan seleksi dan sering mengganggu dalam seleksi genotipgenotip unggul. Sedangkan Nasrullah (1981) dalam Achmad Baihaki dan Noladhi Wicaksana (2009) berpendapat bahwa interaksi G × E sering mempersulit pengambilan pilihan dari suatu percobaan varietas uji multilokasi yang kisaran lingkungannya luas. Informasi interaksi G × E sangat penting bagi negara-negara yang variabilitas biogeofisiknya luas seperti Indonesia. Pemulia dapat memanfaatkan potensi lingkungan spesifik dalam kebijakanpenentuan penerapan kebijakan wilayah sebaran suatu varietas unggul baru. Dalam hal ini ada dua alternative pilihan, yaitu : (1) melepas varietas unggul baru dengan potensi hasil tinggi untuk kisaran spatial yang luas (wide
adaptability), (2) melepas varietas unggul baru dengan potensi hasil tinggi pada wilayah tumbuh yang spesifik (spesifik lingkungan tumbuh-spesific adaptability).
Pilihan pertama telah lama dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan telah banyak varietas berbagai komoditi, terutama tanaman semusim seperti padi, jagung, dan kedelai, dilepas melalui prosedur pelepasan berdasar konsep wide adaptability, seperti diatur dalam peraturan Menteri Pertanian. Keuntungan dengan melepas varietas unggul beradaptasi luas bagi negara yang sedang berkembang adalah mudah dalam pengadaan varietas tersebut dan pengendaliannya secara nasional. Namun prosedur
ini memiliki kelemahan fundamental dalam menghadapi gangguan hama dan penyakit, serta kurang mampu memanfaatkan potensi-potensi sumberdaya alami lokal. Pilihan kedua adalah melepas varietas unggul beradaptasi sempit (specific adaptability) yang selama ini tidak tercantum dalam peraturan yang memperbolehkannya dilepas. Varietas ini memiliki potensi hasil yang tinggi pada lingkungan tumbuh tertentu dan mampu memanfaatkan potensi-potensi sumberdaya alam lokal. Namun varietas semacam ini tersingkir dalam proses uji multilokasi dan tidak pernah termanfaatkan serta terbuang untuk selamanya, kecuali untuk koleksi para pemulia. Penelitian ini bertujuan mengkonfirmasi bahwa melepas varietas unggul spesifik wilayah yang memberikan tambahan keuntungan dalam pelepasan varietas unggul baru. Selain itu bertujuan untuk memanfaatkan informasi hasil penelitian lain yang telah dilakukan di Indonesia yang berkaitan dengan interaksi genotip dengan lingkungan.( Achmad Baihaki dan Noladhi Wicaksana 2009)
ISI
Telah kita ketahui bahwa setiap fenotipe yang terjadi adalah karena interaksi yang terjadi antara genotype dan lingkungan. Terjadi saling mempengaruhi yang selanjutnya akan berpengaruh pada hasil yang di capai. Fenotipe atau sifat yang tampak tidak akan baik jika tidak didukung genotype dan lingkungan. Oleh sebab itu dalam pertanian wajib di ketahui hubungan lingkungan dan genotype agar didapatkan produksi yang maksimum baik kualitas maupun kuantitas. (elin embarwati 2009)
Pada penelitian Baihaki dan Wicaksana yang dilakukan dengan tanaman kedelai menunjukan bahwa diantara 6 genotype yang di uji menunjukan hasil yang berbeda. Di antara genotype tersebut ada yang tumbuh baik pada lingkungan pengujian tapi ada juga yang tidak.
Analisis gabungan karakter hasil untuk delapan lokasi tanam terlihat adanya interaksi yang nyata antara genotip kedelai yang diuji dengan lokasi (lingkungan). Hal ini menunjukkan bahwa di antara keenam genotip kedelai yang diuji, tanggapnya terhadap delapan lingkungan tumbuh (lokasi) untuk karakter hasil, tidak sama dan dapat diartikan diantara genotip tersebut terdapat genotip yang tumbuh baik pada lingkungan tertentu dan memberikan hasil yang tinggi. Data yang dihasilkan dari penelitianpenelitian Djaelani et al. (2001) pada 43 galur kedelai, Harsanti et al. (2003) dalam Achmad Baihaki dan Noladhi Wicaksana (2009) pada 10 galur mutan padi sawah di 20 lokasi, dan Makulawu et al. (1999) dalam Achmad Baihaki dan Noladhi Wicaksana (2009) pada jagung hibrida harapan di sembilan lokasi, juga dengan jelas memperlihatkan adanya interaksi antara genotip dengan lokasi (lingkungan) yang nyata. terlihat jelas bahwa adanya keberagaman lingkungan tumbuh (lokasi) menyebabkan terjadinya penampilan yang beragam dari genotip tanaman dalam berbagai lingkungan tumbuh (Baihaki dan Wicaksana, 2009)
Hal tersebut terungkap dari besaran nilai intraksi G × E yang nyata atau sangat nyata. Penelitian yang dilakukan oleh Djaelani et al. (2001) dalam Wardjodjo (2009) pada 43 galur kedelai di lima lingkungan (lokasi) saja telah mampu memperlihatkan adanya interaksi G × E yang nyata. Demikian pula penelitian Harsanti et al. (2003) dalam Wardjodjo (2009) pada 10 galur padi sawah yang diuji multilokasi pada 20 lingkungan, menunjukkan adanya interaksi G × E. Hal yang sama yang dilakukan oleh Makulawu et al. (1999) dalam Wardjodjo (2009) pada 12 genotip jagung hibrida di sembilan lingkungan tumbuh, memberikan petunjuk yang sama pula.
Pada penelitian wardjono mangundidjodjo yang dilakukan pada tanaman the di simpulkan bahwa interaksi (G X K) berperan cukup panting sehingga perlu di jaga dan di perrhatikan. adanya interaksi (G XE) berperanan
penting, maka perlu diperhatikan atau digalakkan bahwa: bilamana suatu varietas/
klon baru sudah dilepas, perusahaan perkebunan perlu segera merespon dengan menanam varietas/klon yang dilepas dengan skala kecil di wilayahnya sehingga pada waktu akan mengadakan peremajaan atau pengembangan sudah dapat diketahui varietas/klon mana yang sesuai dengan kondisi setempat (Wardjodjo 2009)
Informasi tersebut memberikan keyakinan bahwa pada dasarnya genotip tanaman akan menunjukkan penampilan sesuai dengan kondisi lingkungan tempat tumbuhnya. Padahal sangat sulit memperoleh lingkungan tumbuh yang seragam pada kisaran ruang spatial yang luas. Indonesia sendiri secara alamiah memiliki ekosistem alami sebanyak kurang lebih 43 ekosistem dan dua ekosistem buatan. (fuad nur aziz 2009)
Masing-masing ekosistem tersebut memiliki ciri-ciri tersendiri dan makhluk hidup yang tumbuh di atasnya menyesuaikan diri (adaptasi) terhadap ekosistem tersebut. Selain itu, manusia sendiri di atas ekosistem alami tersebut secara aktif mem bentuk/membuat lima basis agroekosistem (daerah sawah berpengairan konvensional, daerah tanah pertanian pasang surut, daerah tanah lebak, daerah pertanian rawa, dan daerah pertanian tadah hujan) yang didasarkan pada keterkaitannya dengan faktor iklim, tanah, topografi, dan budaya. Apabila lima basis agroekosistem tersebut dikaitkan dengan ekosistem alami akan membentuk variasi agroekosistem yang lebih banyak lagi jumlahnya. Analisis adaptabilitas terhadap data penelitian Baihaki dan Wicaksana, selama musim tanam tahun 2003, yang didasarkan pada analisis stabilitas Eberhart-Russell (1966) untuk indeks lingkungan spatial, memperlihatkan dari enam genotip yang diuji tidak satupun yang beradaptasi luas di delapan lokasi uji. Akan tetapi genotip 3 cenderung mendekati adaptasi luas dengan nilai koefisien regresi mendekati satu dan standar deviasi koefisien regresi mendekati nol. Hasil per hektar enam genotip tersebut cukup tinggi, berkisar antara 2.54 t.ha–1–3.59 t.ha–1. (Achmad Baihaki dan Noladhi Wicaksana 2009)
Berdasarkan definisi stabilitas dan adaptabilitas suatu genotip yang digunakan dalam penelitian ini (Eberhart dan Russell, 1966) dalam Achmad Baihaki dan Noladhi Wicaksana (2009), maka hasil penelitian yang dilakukan oleh Djaelani et al. (2001) dalam Achmad Baihaki dan Noladhi Wicaksana (2009) pada 43 genotip kedelai dan dilaksanakan di lima lingkungan (lokasi), ternyata hanya terdapat dua genotip yang mendekati adaptasi luas, berturutturut genotip no. 26 (b ˆ = 0.9815, b S ˆ = 0.2678) dan genotip no. 29 (b ˆ = 0.9086, b S ˆ = 0.0559). Jadi hanya 4.65 % saja yang dapat dikatakan sebagai genotip beradaptasi luas. Penelitian pada 10 galur tanaman padi yang dilakukan oleh Harsanti et al. (2003) di 20 lingkungan (lokasi), hanya terdapat dua galur yang memperlihatkan adaptabilitas yang luas, yaitu galur S- 3388-Id-PN16-2 (b ˆ = 1.03 b S ˆ = 0.27) dan galur IR 64 (b ˆ = 1.01, b S ˆ = 0.08). Penelitian ini dilakukan dalam kisaran wilayah lokasi yang amat luas, mulai dari Sumut, Sumbar, Jambi, Sumsel, Banten, Jabar, Jateng, DIY, Bali, NTT, NTB, Kalsel, Kalbar, dan Sulsel. Ratarata hasil 10 galur tersebut berkisar
antara 5.86 t.ha–1 – 6.62 t.ha–1. Sementara itu jumlah genotip yang diuji multilokasi tahun 1995/ 1996 untuk jagung dan kedelai berturut-turut berjumlah 33 dan 77 nomor genotip (diolah dari data Diretorat Perbenihan, Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan, Deptan, 2003). Akan tetapi jumlah varietasunggul yang dilepas oleh Menteri Pertanian untuk tahun tersebut hanya 13 genotip jagung dan delapan genotip kedelai (termasuk di dalamnya tahun 1998, tahun 1997 tidak ada genotip yang dilepas). Dengan demikian jumlah varietas jagung yang dilepas 39.4 % dan kedelai 10.4 %. Jumlah tersebut tentu cukup rendah, sekalipun belum dapat menggambarkan
keseluruhan pelepasan varietas, apabila dibandingkan dengan keragaman dan luasnya agroekosistem di Indonesia. Rendahnya jumlah varietas yang beradaptasi luas dan terabaikannya varietas yang beradaptasi sempit, serta rendahnya jumlah varietas unggul baru yang dilepas, dapat menggambarkan rendahnya tingkat efisiensi dan efektivitas proses pelepasan varietas unggul di tanah air. Hal ini akan dapat diatasi apabila varietas unggul spesifik wilayah juga diperhitungkan dalam kebijakan pelepasan varietas, sehingga dapat menekan biaya dan waktu yang selama ini terbuang percuma. Keuntungan yang akan diperoleh apabila varietas unggul spesifik wilayah dapat dilepas, antara lain : (1) efisiensi pengggunaan dana dan waktu, (2) memperbanyak varietas unggul baru yang dilepas, (3) secara nasional produktivitas akan meningkat dan dengan sendirinya produksi akan meningkat pula, (4) akan menekan harga benih/ bibit, (5) akan terbentuk “regional buffering” yang sangat diperlukan untuk meredam meluasnya hama atau penyakit tanaman, (6) memberikan pilihan alternatif varietas yang cukup bagi petani, (7) memanfaatkan potensi kekayaan alam dengan baik, dan (8) mendorong terselenggaranya pembangunan pertanian yang sinambung. Ada beberapa pihak yang meragukan
dilepasnya varietas unggul spesifik wilayah, dengan alasan bahwa varietas semacam ini tidak akan menarik industri perbenihan untuk memproduksinya, karena wilayah pemasarannya menjadi terbatas. Hal ini dapat diatasi dengan cara mengidentifikasi ciri-ciri wilayah yang serupa dengan wilayah pelepasan utama yang teridentifikasi dari uji multilokasi. (Achmad Baihaki dan Noladhi Wicaksana 2009)
PENUTUP
Interaksi genotip dengan lingkungan pada tanaman merupakan fenomena yang nyata. nVarietas adaptasi luas (wide adaptability) yang unggul dan dilepas jumlahnya sedikit dibandingkan dengan jumlah genotip yang diuji. Selain varietas adaptasi luas, varietas unggul spesifik wilayah dianjurkan untuk dilepas untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses pelepasan varietas unggul baru, membentuk regional buffering, serta memperbanyak jumlah varietas unggul tanaman sehingga petani akan mendapat altenatif pilihan dan menurunkan harga benih.
Perlu dilakukannya pemetaan perwilayahan tanam berdasarkan biogeofisik dan sosial budaya setiap komoditas.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Baihaki dan Noladhi Wicaksana ,(2005),Interaksi genotipe dan lingkungan, aaptabiitas dan stabilitas hasil dalm pengembangan tanaman varietas unggul di Indonesia
Woerjono Mangoendidjojo (2005),Analisis interaksi genatipe dan lingkungan tanaman perkebunan (studi kasus pada tanaman teh)
Muhammad Azrai (2006) Analisis varians dan heritabilitas ketahanan galur-galur jagung rekombinan terhadap penyakit bulai
Erlina ambarwati.2009 http://agrisci.ugm.ac.id. Diakses tanggal 10 November 2009 pukul 22.00 wib
Emi nurbayanti.2009 http://images.soemarno.multiply.multiplycontent.com
. Diakses tanggal 10 November 2009 pukul 22.00 wib
Anonim.2009 http://reensaikoe.wordpress.com/ekofisiologi-benih/resume-dan-review- tiga-artikel-ilmiah/ Diakses tanggal 10 November 2009 pukul 22.00 wib
Faid nur aziz.2009 http://blog.beswandjarum.com Diakses tanggal 10 November 2009 pukul 22.00 wib
Astanto kasno.2009 www.puslittan.bogor.net Diakses tanggal 10 November 2009 pukul 22.00 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar